Mentari telah mencuak dari peraduannya sehingga menghasilkan fajar pertama yang selalu mempesona. Farah terbangun saat merasakaan usapan lembut di keningnya. Namun, saat ia membuka mata tak ada seorangpun ada di sampingnya. Farah hanya terkadang melihat sekelebat bayangan yang akan tiba-tiba hilang bersama datangnya cahaya mentari fajar dari balik penangkap mimpi yang ia punya. Saat Farah menggeliat dari dalam selimutnya, tiba-tiba ia menemukan sebuah kotak perhiasan. Farah terkejut melihat isi kotak berisi kalung yang sangat mirip dengan yang ada di dalam mimpinya semalam. Ya, ia bermimpi sedang berbelanja di luar negeri dan membeli kalung ini.
Hal yang biasa terjadi namun aneh bagi Farah. Sejak Farah menerima pemberian terakhir dari kakeknya sebulan yang lalu yakni sebuah penangkap mimpi, ia selalu saja bermimpi indah dan berujung kenyataan. Sebelum dan setelah ia tertidur, Farah juga kerap merasakan ada tangan lembut yang mengusap kepalanya sehingga ia sangat mudah terlelap ataupun terbangun. Kejanggalan ini tak mampu ia pendam lagi. Farah ingin menangkap sosok yang selama ini tanpa sengaja membuatnya merasa…ehm, nyaman.
Malam kembali menggantikan siang. Menjadikan waktu yang sangat tepat bagi Farah dalam menjalankan misinya. Ia bergegas untuk tidur setelah melakukan ritualnya (baca: cuci muka dan kaki) lalu mematikan lampu kamarnya. Baru saja Farah berbaring di atas kasurnya, tiba-tiba ia mulai merasakan sosok yang ia tunggu ada dan mengusap kepalanya. Farah sungguh merasakan serangan kantuk yang melanda dirinya. Ia sangat ingin terlelap saat ini juga. Namun, niat itu segera ia tampik dan entah keberanian darimana, Farah menggenggam tangan yang sedang bertengger diatas kepalanya kemudian mencari saklar lampu di samping tempat tidurnya. Lampu segera menyalakan cahanya, menampakkan raut kaget dari wajah Farah dan ‘sosok tampan’ yang mampu membuat Farah terpana hanya dalam waktu sekejap.
“Ka.. Kamu siapa?” tanya Farah kepada ‘sosok tampan’ itu. Farah memang terpana akan ketampanannya. Akan tetapi, ketakutan Farah terhadap siapakah sosok yang ada di depannya ini tak mampu ia sembunyikan.
“Hei, tenanglah. Aku Arsa, penjaga tidur kamu. Aku dikirim oleh penangkap mimpi itu,” ujar ‘sosok tampan’ ini sambil menunjuk penangkap mimpi yang tergantung di atas ranjang Farah.
“Penjaga tidur dari sebuah penangkap mimpi? Oh, apa aku sudah berada di alam mimpi sehingga mitos penangkap mimpi itu benar terjadi sekarang?” Farah menanggapi perkataan Arsa yang ia anggap sangat tidak masuk akal.
“Terserah jika kamu tak ingin percaya. Tapi yang jelas aku sudah mengatakan kebenarannya dan ini nyata. Bukankah kamu sendiri yang menjebakku dengan berpura-pura tertidur?” sahut Arsa yang membuat Farah salah tingkah.
“Baiklah, anggap aku percaya. Tapi bagaimana sekarang? Aku tidak mungkin bisa tidur saat menyadari seorang laki-laki ada di dalam kamarku?” akhirnya Farah mengutarakan kekhawatirannya.
“Kamu tak perlu takut, ini sudah tugasku untuk menjagamu. Bahkan jika kamu mau, kita dapat berteman. Hanya kamu harus menaati satu aturan.” Arsa tersenyum berusaha menenangkan Farah namun memberikan tatapan serius seolah apa yang ia katakan merupakan hal yang sangat penting.
“Aturan apa?”
“Kendalikan dirimu. Jangan sampai kamu jatuh cinta kepadaku.” Satu kalimat dari Arsa membuat Farah bungkam sejenak.
“Aku ngantuk, mau tidur. Arsa, bisakah kamu membacakan sebuah puisi sebagai pengantar tidurku?” pinta Farah yang ingin mengalihkan pembicaraan mereka.
“With my pleasure,” jawab Arsa yang tentunya menyanggupi permintaan Farah. Ia pun mematikan lampu saat Farah mulai kembali berbaring dan tak lama jatuh terlelap.
Aku belum pernah mengenali makhluk yang begitu sempurna
Kulit seputih susu
Bulu mata lentik
Pipi yang merona
Serta bibir seranum mawar
Aku sangsi ia adalah jelmaan malaikat ataupun bidadari
Namun fakta yang kutemukan ia disebut manusia
Perasaanku kini tak dapat dikendalikan
Bagai kembang api yang terus meletup
Aku, menginginkannya
***
Farah terbangun sebelum fajar menyingsing. Namun ia menyadari satu hal aneh, bahwa ia tak lagi merasakan adanya sentuhan lembut di kepalanya. Farah segera bangkit dan mencari Arsa yang ia temukan sedang berdiri di samping ranjangnya. Anehnya, seluruh tubuh Arsa terlihat transparan.
“Kenapa badan kamu –”
“Apa yang kamu mimpikan semalam? Mengapa kamu memimpikan itu?!” Arsa melontarkan pertanyaannya dengan sedikit membentak tanpa mempedulikan apa yang ingin Farah ucapkan tadi. Farah tersentak dan berusaha mengingat mimpinya semalam. Senyum tanpa sengaja merekah di wajah Farah. Mimpi itu, Farah berani bertaruh itu adalah mimpi terindah yang pernah ia alami. Mimpi dimana ia dan Arsa saling menyatakan perasaan cinta masing-masing dengan sangat romantis.
“Apa yang salah dengan mimpiku?” tanya Farah bingung.
“Kamu tahu betul kalau setiap mimpimu itu akan menjadi kenyataan. Tidakkah kamu mendengar aturan yang aku katakan? Kamu sungguh tidak boleh jatuh cinta kepadaku dan sekarang mimpi itu menjadi kenyataan. Kamu melanggar aturan itu,” jawab Arsa yang membuat Farah semakin tak mengerti.
“Maksud kamu? Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta sama kamu?”
“Itu adalah aturan yang tak boleh ditentang. Lihatlah sekarang, aku tak dapat menyentuhmu lagi. Aku terjebak di dalam jaring penangkap mimpi itu. Aku tak bisa menjaga mimpi indahmu. Dan parahnya mulai saat ini kamu akan terus bermimpi buruk yang tentunya akan menjadi kenyataan,” jelas Arsa. Mata Farah menatap Arsa tak percaya. Tidak mungkin Farah bisa mempercayai itu semua.
“Satu-satunya cara agar kamu bisa bebas dari mimpi buruk itu ialah kamu harus membakar penangkap mimpi itu. Kamu harus membakarnya sebelum fajar tiba,” lanjut Arsa.
“Tidak! Jika aku membakar penangkap mimpi itu, artinya aku akan kehilangan kamu. Aku tak ingin hal itu terjadi.” Farah menolak perkataan Arsa. Ia sungguh tidak ingin kehilang sosok cinta pertamanya.
“Lebih baik aku tak ada dan seharusnya memang tak pernah ada daripada harus melihat kamu menderita dengan bermimpi buruk setiap malamnya. Ingat, waktu kamu hanya sampai besok malam. Kamu harus membakarnya sebelum fajar tiba.” Arsa mengakhiri perktaannya seiring dengan tubuhnya yang lenyap secara perlahan saat sinar matahari pagi menampakkan diri.
***
Farah bangun dari tidurnya yang sangat tidak nyaman karena merasa ada yang menggigit lengan kanannya. Sekujur tubuhnya basah dipenuhi keringat. Wajahnya pun terlihat sangat pucat. Ya, dia telah bermimpi buruk semalam. Dia bermimpi sedang tersesat di hutan belantara dan tiba-tiba lengan kanannya terpatuk ular kemudian tak lama setelah itu meninggal. Farah pun panik saat melihat di lengan kanannya terdapat bekas gigitan yang semakin lama terasa semakin sakit.
“Aku sudah mengatakannya bukan? Kamu akan terus bermimpi buruk jika tak menyingkirkan penangkap mimpi itu. Dan sekarang mimpi kamu itu akan menjadi nyata apabila kamu tidak membakarnya setelah fajar terbit nanti,” sahut Arsa yang sontak mengagetkan Farah. “Kumohon, Farah. Lepaskan keegoisan kamu. Jangan pernah menyakiti diri dengan hal yang sia-sia.”
Farah menatap Arsa kecewa. “Aku ngelakuin ini karena kamu. Dan kamu malah ngomong kalau aku egois?”
“Ya. Tolong dengarkan aku baik-baik, Farah. Seandainya kamu tidak membakar penangkap mimpi itu maka aku akan selamanya terperangkap dalam jaringnya dan kamu akan berakhir mengenaskan. Jika kamu membakarnya, kamu akan terbebas dari semua mimpi buruk itu dan dapat menjalani kehidupan kamu seperti sedia kala. Sementara aku, mungkin saja akan terlahir kembali suatu saat nanti.” Arsa memberikan penjelasan sebaik mungkin agar Farah dapat memahami maksudnya. Jujur, Arsa sungguh tak ingin berpisah dengan Farah. Namun saat ini semesta tak mampu menjadi tempat bersatunya mereka berdua.
“Farah, ayolah. Kumohon bakar penangkap mimpi itu sekarang. Sebentar lagi mentari fajar akan terbit,” pinta Arsa dengan tatapan sendunya. Farah tetap terdiam tak ingin berkata apapun, atau lebih tepatnya tak tahu harus berkata apa. Setelah beberapa saat merenung, Farah segera mengambil penangkap mimpi yang tergantung di atas ranjangnya kemudian berlari menuju dapur untuk mengambil sebuah korek api. Farah lalu berjalan perlahan agar tak mengganggu orang lain yang ada di dalam rumahnya menuju halaman rumah dimana tempat sampah umum berada. Tanpa pikir panjang ia langsung membuang penangkap mimpinya ke tempat sampah dan membakarnya. Perlahan bagian penangkap mimpi itu berubah menjadi abu. Begitu pula dengan Arsa. Farah menoleh ke arah Arsa yang sedari tadi mengikutinya. Tubuhnya yang transparan perlahan juga mulai menguap layaknya asap yang hilang tertiup angin. Farah menangis, memberontak, tak percaya atas apa yang ia perbuat. Ia melenyapkan cinta pertamanya sendiri. Sebelum mentari pagi benar-benar tampak, Farah sempat mendengar ucapan terakhir dari Arsa.
‘Jangan menangis, cantik. Percayalah pada takdir. Takdir selalu punya kejutan. Kita memang tak bisa bersama saat ini. Kita juga tak mungkin mengingkari takdir. Tapi aku yakin takdir tak pernah kejam. Berharaplah takdir akan mempertemukan kita kembali pada waktu yang tepat. Bahkan jika waktu itu adalah setelah seribu kehidupan lagi.’
Tangis Farah semakin pecah setelah mendengar ucapan Arsa. Mentari pagi telah beranjak sempurna meninggalkan peraduannya. Saat itu pula Farah merasakan perubahan pada lengan kanannya. Ya, lengan kanannya secara ajaib sembuh tanpa meninggalkan bekas apapun atau rasa sakit lagi. Melihat apa yang terjadi, Farah tersadar kalau perkataan Arsa mungkin benar. Farah pun berkata lirih, “Semoga ini yang terbaik untuk kita, Ar.”
***
9 tahun kemudian …
Farah berjalan memasuki sebuah restoran ternama di Makassar dengan langkah sangat terburu-buru. Dandanan yang cukup tebal namun masih menampakkan kesan natural serta baju kemeja khas orang kantoran membuatnya terlihat sangat cantik dan dewasa. Seluruh pasang mata tak mampu mengalihkan pandangannya saat Farah melintasi mereka. Namun, Farah tak mengacuhkannya. Baginya saat ini ia harus segera menemui salah satu kliennya jika tak ingin kehilangan kerja sama yang sangat menguntungkan perusahaannya. Ya, saat ini Farah sudah menjadi direktur muda di salah satu perusahaan besar yang memasarkan produk pakaian.
“Permisi, maaf saya terlambat. Sungguh saya merasa sangat bersalah karena tidak tepat waktu,” ucap Farah langsung setelah menemukan tempat kliennya berada. Tetapi, mata Farah seketika membulat saat melihat seorang pria yang sedang duduk di hadapannya dengan senyum ramah.
“Sudahlah, tak apa. Saya mengerti wanita seperti Anda pasti sangatlah sibuk. Silakan duduk,” ujar pria itu sopan. Farah duduk di depan pria itu tanpa melepaskan pandangannya seolah tak percaya dengan sosok yang ada di depannya ini.
“Arsa,” gumam Farah secara tak sadar.
“Anda sudah mengetahui nama saya? Apakah kita sudah bertemu sebelumnya?” tanya pria itu membuyarkan lamunan Farah.
“Ah.. itu, saya sempat diberitahukan sedikit tentang Anda dari sekretaris saya,” kilah Farah yang membuat pria itu hanya mengangguk tanda mengerti. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan pertemuannya kembali dengan Arsa? Mungkinkah sudah saatnya? Farah masih sulit mencerna segala hal yang terjadi. Tetapi ia lebih memilih mempercayai pertemuan ini. Ia yakin cinta pertamanya telah kembali. Farah hanya perlu berusaha untuk mendapatkannya kembali. Dan apabila ia telah mendapatkannya, maka ia tak akan pernah lagi melepaskannya. (*Mufliha)
Sumber : www.hipwee.com
0 Response to "Jika Rela dan Ikhlas, Tuhan Pasti Memberikan yang Lebih Baik"
Post a Comment